Serial Urban legend: Sumo Bawuk, tentang kerinduan menjadi manusia sakti

“Hong, kaki durga, nyai durga, angslupa ing dolananku, yen ora kok angslupi, dak aturak sang hyang wenang, Bel robel setan gundul dadiya dolananku, Aum, Aum, Aum.”

 

 

Tahun 1980 an di Kediri, teknologi belum mempunyai implikasi langsung seluas dan semasif saat ini. Listrik sebagai sumber energi masih menjadi barang yang mahal dan tidak semua orang memilikinya. Sebuah informasi hanya bisa menyebar melalui mulut, koran dan televisi – yang hanya dimiliki beberapa orang. Itu saja sarana penyebaran informasi. Bias dan distorsi informasi menjadi hal yang sangat mungkin terjadi. Karena belum ada gadget, listrik sangat terbatas dan televisi hanya menanyangkan TVRI, m aka selepas maghrib anak-anak akan berkumpul di halaman rumah penduduk yang luas dan mulai bermain betengan, delikan, gobak sodor dan berbagai permainan fisik lainnya. Sementara para orang tua akan keluar rumah dan cangkruk di depan rumahnya, bicara ngalor ngidul dengan tetangganya. Kadang ditemani klethikan kadang juga tidak. Dan karena listrik tidak semelimpah sekarang, maka suasana remang-remang lebih ke gelap adalah pemandangan yang biasa. Setelah bermain dan cangkruk selepas maghrib, maka kegiatan rutin ini akan diakhiri menjelang jam 9 setelah isya. Itu paling malam. Anak-anak yang sedang bermain mulai dipanggil pulang, teriakan-teriakan anak-anak digantikan teriakan atau panggilan ibu-ibu memanggil dan mencari anak-anaknya untuk pulang. Pintu-pintu mulai ditutup, jendela mulai ditutup, lampu-lampu mulai dimatikan. Digantikan dengan 

lampu-lampu malam yang kalau listrik tidak akan lebih dari 5 watt. Ublik dan teplok mulai dinyalakan. Desa menjadi senyap. Dan sekitar jam 10 malam, beberapa rumah terbuka, bapak-bapak yang mendapat giliran siskamling mulai keluar dengan sarung dan jaket sebagai pakaian resminya. Kadang ditambah bawa termos isi kopi dan kresek isi cemilan buat siskamling. Poskamling mulai riuh dengan bapak-bapak main kartu atau sekedar ngobrol. Begitulah gambaran normal kehidupan selepas maghrib di sebuah desa di kediri di tahun 1980 an.

Hingga nama Sumo Bawuk menebar teror. Sebuah nama yang akan menggetarkan hati seluruh penduduk Kediri di era tahun 1980 an. Nama ini membuat setiap rumah akan menutup pintu dan jendela selepas maghrib. Lubang angin, lubang kunci, bahkan lubang anyaman bambu (gedhek)pun akan ditutup dengan apapun selepas maghrib. Desa-desa di kediri menjadi sepi dan mencekam selepas matahari terbenam. Sumo Bawuk, sebuah nama yang pernah membuat kehebohan di Kediri. Secara perlahan nama ini menyebar ke seluruh pelosok Kediri. Dan tentu saja, semakin jauh nama ini menggema maka semakin seram dan aneh-aneh cerita yang terdengar. Cerita bahwa Sumo Bawuk dan murid-muridnya bisa masuk ke dalam rumah lewat lubang sekecil lubang jarum. Cerita bagaimana Sumo Bawuk dan murid-muridnya bisa menjelma menjadi cahaya. Mereka bisa menghilang atau menjelma menjadi kupu-kupu atau hewan apapun. Malam selepas maghrib tidak lagi dipenuhi dengan riuh anak-anak dan orang-orang yang cangkruk. Malam menjadi mencekam dan dipenuhi wajah-wajah tegang orang-orang yang lewat. Bapak-bapak yang mendapat giliran siskamling membawa tongkat, pisau bahkan keris (gaman) keluar dari lemari simpanan. Mantra dan cekelan kembali beredar dan berkumandang. Seram dan mencekam.

Informasi terkait Sumo Bawuk menyebar dari mulut ke mulut seperti api yang membakar sabana kering. Semakin jauh dari sumber api, semakin besar dan menyeramkan api menjadi. Sumo bawuk mempunyai ratusan murid, dia bisa terbang, menghilang dan berubah wujud. Dia tidak bisa mati dan bisa mengubah dirinya menjadi cahaya yang masuk melalui celah dan lubang paling kecil. Pada saat itu, sangat jamak dan umum ditemui rumah-rumah yang semua lubang sekecil apapun tertutup. Lubang angin, celah pintu dan lantai, lubang kunci bahkan lubang dinding bambu (gedhek)  pun ditutupi dengan kertas kalender atau jarik. Rumah-rumah menjadi gelap gulita karena penghuninya takut Sumo Bawuk dan muridnya masuk ke rumah menjadi cahaya. Kentong titir menjadi suara yang paling ditakutkan setiap malam. Karena kentong titir adalah pertanda telah terjadi peristiwa besar seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, kebakaran, dan peristiwa-peristiwa lain yang membutuhkan perhatian seluruh desa.

Sumo Bawuk atau Sumo Salidi atau Somodiredjo adalah orang tua biasa di sebuah desa yang biasa dengan keseharian yang biasa juga. Kesehariannya dipenuhi dengan kegiatan orang desa. Ke sawah, kerja bakti, ikut ronda siskamling, kendurenan dan juga mengikuti kegiatan orang desa lainnya. Kecuali memang, terdokumentasi bahwa pak Sumo adalah lulusan Nusakambangan karena kasus pencurian di tahun 1940 an. Selebihnya, pak Sumo adalah warga desa biasa yang mungkin dan kebetulan penganut ajaran tantrayana yang menjadikan dewi durga sebagai tokoh pujaan. Dan sebagai pemujanya, tentu saja ada ritual-ritual yang harus dijalani. Salah satu ritual yang harus diikuti adalah Panca Ma yang mengedepankan pemuasan nafsu. Merupakan sebuah penyimpangan dari ajaran aslinya sebenarnya. Salah satu ritual yang harus dilakukan untuk mendapatkan ajian tolak gaman adalah penganutnya harus melakukan persetubuhan/pemerkosaan kepada anak-anak hingga jumlah 7-40. Ajian tolak gaman membuat pemiliknya kebal senjata. Bahkan ada yang mengatakan pemilik ajian ini bisa terbang dan menghilang. Seseorang yang mempunyai kemampuan seperti ini, kebal senjata, bisa menghilang dan terbang. Dia akan menjadi manusia super. Manusia sakti yang akan dihormati dan disegani.

Pada era itu, menjadi manusia yang sakti adalah impian dari banyak orang. Menjadi sakti dalam artian mempunyai kemampuan melebihi kemampuan manusia lainnya. Kebal senjata, bisa menghilang, bisa terbang, menjadi manusia ora lombo. Seperti itulah ukuran kesaktian pada era itu. Karena, dengan menjadi manusia sakti, maka derajat hidupnya akan terangkat. Dia akan menjadi tokoh di desanya. Dia akan menjadi jujukan atau solusi atas segala macam persoalan orang desa. Orang akan rela berbuat apapun untuk menjadi orang sakti. Ritual yang dilakukan oleh Sumo Bawuk dan murid-muridnya adalah hal yang memang ada. Menyetubuhi anak-anak gadis perawan dan menjadikan darah perawan sebagai salah satu sarana mencapai kesaktian adalah hal yang sebagaian orang sanggup untuk melakukannya. dan apabila ditarik benang merah, di Kediri ada situs calon arang yang merupakan seorang tantri yang  konon adalah pemuja dewi dhurga (sebagai dewi utama aliran tantrayana).ini adalah bukti konkrit bahwa kediri merupakan wilayah yang banyak mempunyai pengikut aliran tantrayana. Dan aliran ini hanyalah salah satu aliran yang menjanjikan kesaktian bagi pemuja dan pemeluknya. Masih banyak aliran-aliran yang mempunyai ritual-ritual yang berbeda-beda untuk meraih kesaktian. Masih banyak ajian-ajian yang dijanjikan akan didapatkan oleh orang-orang yang melakukan berbagai ritual. Ajian lembu sekilan, rawa rontek, bandung bondowoso, sanyepi angin, dan seterusnya masih banyak beredar di masyarakat era itu. Tentu saja setiap ajian mempunyai ritual yang berbeda-beda. Puasa pati geni, ngebleng, tapa kungkum hingga slametan dengan berbagai syaratnya. Semua itu untuk adalah ritual untuk menjadi sakti.

Keinginan dan kerinduan menjadi manusia sakti sebenarnya terentang panjang dalam sejarah manusia. Menjadi manusia yang lebih unggul dibandingkan dengan manusia lainnya akan menjadi obsesi dan keinginan yang boleh-boleh saja. Karena hal ini akan berujung pada bentuk kuasa akan manusia lainnya. Bahwa kesaktian yang dimiliki akan menjadi alat untuk “menguasai” manusia lain. Itu adalah insting bawaan manusia sejak purba. Di jaman purba, seseorang dinilai sakti dari kemampuan fisiknya. Lebih kuat, lebih besar, lebih cepat dan seterusnya. Orang-orang ini akan menjadi pimpinan kelompoknya. Orang ini dianggap mempunyai kemampuan untuk melindungi kelompoknya dari serangan kelompok lain atau serangan dari hewan buas. Dan ketika tatanan masyarakat mulai lebih rumit, maka kesaktian seseorang tidak lagi di ukur dari keunggulan secara fisik. Lebih kompleks dan rumit dari fisik, maka kesaktian diukur dari kemampuan menguasai kemampuan atau skill yang lebih transenden. Lebih gaib. Kemampuan meramal, kemampuan menyembuhkan dan menyelesaikan masalah menjadi ukuran dari kesaktian. Dan posisi ini dalam tatanan masyarakat tidak lagi dipegang oleh pemimpin. Pemimpin meminta nasihat dan pertolongan pada orang-orang ini. Atau biasa disebut sebagai orang pintar, penasehat, pimpinan spiritual dan sebagainya.

Dan ketika masyarakat sudah berkembang sedemikian rupa, orang-orang pintar tetap ada meskipun berganti peran. Penyihir, dukun, orang pintar bahkan ilmuwan bisa dikelompokan dalam kelompok orang sakti ini. Memang, di satu titik ilmuwan juga bisa dikelompokan sebagai orang sakti. Dan ilmu untuk menjadi orang sakti menjadi semakin umum. Bisa dipelajari dan diturunkan kepada orang-orang yang mempunyai keinginan menjadi orang sakti. Dan secara instingtif, memang manusia mempunyai keinginan menjadi orang paling unggul di kelompoknya. Dulu, untuk menjadi manusia sakti, manusia tidak perlu melakukan hal-hal yang melanggar norma dan aturan sosial. Karena yang dimaksud dengan orang sakti adalah orang yang secara fisik lebih unggul. Sehingga tidak diperlukan ritual atau perbuatan yang “aneh-aneh”. Namun, semakin berkembang tatanan masyarakat, maka ritual atau perbuatan-perbuatan untuk menjadi orang sakti semakin kompleks dan rumit. Bahkan beberapa perbuatan mulai melanggar aturan dan norma yang disepakati. Sehingga pada akhirnya, orang-orang menjadi terpisahkan secara alami. Orang yang ingin menjadi orang sakti, maka dia harus melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar norma dan aturan sosial yang berlaku dan orang yang tidak ingin menjadi orang sakti ya hidup seperti orang kebanyakan.

Pertanyaannya, apakah masih ada cara yang bisa ditempuh untuk menjadi orang sakti tanpa melanggar aturan dan norma yang ada?. Karena nampaknya, untuk menjadi orang sakti  justru semakin banyak aturan dan norma yang harus dilanggar. Seperti di era Sumo Bawuk, untuk menjadi orang sakti banyak ritual dan perbuatan yang bertentangan bahkan melanggar norma yang ada.

Leave a Reply