Literasi dan Minat Baca

Literasi adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, literasi tidak bisa dilepaskan dari kemampuan berbahasa. (Wikipedia)

Dalam bahasa Latin, istilah literasi disebut sebagai literatus, artinya adalah orang yang belajar. Jadi sebenarnya tidak melulu berkaitan dengan kemampuan membaca atau berkaitan dengan buku dan teks. Lebih luas dari itu. Literasi juga meliputi ketrampilan, artinya ada kemampuan dalam tataran praktis tidak hanya tataran teori/wacana. Namun, seperti juga kata lain, literasi mengalami pengecilan makna. Saat ini, literasi bisa dimaknai sebagai sebuah dunia yang meliputi urusan baca membaca dan buku. Termasuk didalamnya adalah bentuk praktek pengajaran dan sosialisasi kegemaran membaca dan hal yang berkaitan dengannya. Sastra, puisi, novel, buku dan sebagainya termasuk di dalam cakupan literasi.

Saya mempunyai beberapa rekan yang bergiat di bidang literasi ini. Mulai mengelola sanggar baca di rumahnya, membuat event2 sastra sebagai bagian dari pendidikan literasi buat masyarakat, hingga membuka usaha warung atau coffee dengan nuansa buku, atau sekedar jualan buku-buku. Hampie semuanya mempunyai tujuan mulia untuk meningkatkan minat baca masyarakat dan memberikan pendidikan literasi pada masyarakat luas. Atau setidaknya semacam itulah tujuan-tujuan mulia yang ingin dicapai rekan-rekan saya itu. Tidak ada yang salah dengan tujuan itu. Dan tentunya tidak ada yang salah juga dengan cara rekan-rekan itu mencapai tujuannya. Dengan mendirikan segala macam sarana, wahana dan juga berbagai metode dan strategi adalah ikhtiar-ikhtiar yang tentunya mempunyai harapan agar minat baca masyarakat bisa meningkat dan bisa menjadi literated society.

Namun begitu, saya ingin melihat dari sisi yang lain. Jadi begini, untuk yang meremehkan, menyayangkan dan menyesalkan tingkat baca masyarakat kita, perlu melihat benarkah serendah itu minat baca masyarakat kita. Karena saya kok agak meragukan. Keraguan saya ini sebenarnya tidak bisa juga dipakai sebagai dasar yang valid, sekedar pengamatan saya sebagai pecinta dan kolektor buku amatiran. Jadi, setiap kali ada event jualan buku seperti big bad wolf, pameran buku, international/indonesia book fair, pesta diskon buku selalu membludak pengunjungnya. Itu yang saya amati. Dan hampir semua stand dan penjual buku penuh dengan pengunjung yang memilih dan juga membeli buku-buku yang dijual. Bahkan beberapa kali saya melihat rombongan dari sekolah datang ke pameran dengan dipandu guru-gurunya. Siswa-siswa dari SD, SMP bahkan PAUD dan TK di dampingi guru-gurunya terlihat mengunjungi stand demi stand buku dan membeli buku-buku yang dijual. Beberapa kali saya juga melihat santri-santri entah dari pondok pesantren mana mengunjungi pameran buku ini dengan berombongan.  Saya bisa mengenali bahwa mereka dari pesantren karena pakaian yang dikenakannya. Yang laki-laki berombongan rata-rata bersarung sementara yang perempuan berjilbab dan memakai cadar. Jadi dari pengamatan saya, pameran buku ini selalu dipenuhi pengunjung. Dan hampir semua pengunjung ketika pulang membawa tas berisi buku yang baru saja dibeli. Apakah ada korelasi antara jumlah buku yang terjual dan minat baca masyarakat?. Memang belum pernah ada yang meneliti hal itu (nampaknya perlu dibuat penelitian kecil tentang itu). Namun saya kok meyakini, setidaknya pengunjung yang membeli buku di pameran buku itu membaca minimal beberapa lembar halaman dari buku yang dia beli.

Sekarang, saya ingin membicarakan asumsi saya yang lain. Saya meyakini bahwa sebenarnya, kita sebagai bangsa memang tidak mempunyai  budaya baca. Mulai jaman kerajaan hingga jaman pergerakan, membaca adalah milik segelintir elit bangsa. Di jaman kerajaan, membaca adalah kebiasaan/budaya yang hanya dimiliki para cendekiawan, bangsawan dan sastrawan. Para ningrat, putra dan putri keraton hingga penggede kerajaan dan tentunya sastrawan dan begawan. Yang akhirnya merekalah yang bisa menghasilkan berbagai karya sastra yang sampai hari ini bisa kita nikmati. Belum pernah saya menemukan sebuah bukti yang menyatakan ada rakyat jelata yang mempunyai kemampuan menulis. Jangan menulis lah, terlalu jauh. Mempunyai kemampuan membaca. Tidak pernah ada. Ya karena membaca dan menulis adalah sebuah privilige/keistimewaan yang hanya dimiliki kelompok elit. Yang saya yakini, bangsa kita kuat di budaya tutur. Bukan budaya baca. Seni-seni pertunjukan yang merupakan perwujudan dari budaya tutur sangat banyak dan beragam. Wayang kulit aja ada beberapa jenis dan bentuk, belum lagi bentuk drama dan berbagai pementasan kesenian. Di Jawa hampir setiap hari dulu ada pementasan ketoprak, wayang orang, wayang kulit, ludruk dan sebagainya. Dan setiap pementasan selalu dipenuhi penonton. Penonton itu menyimak, tertawa menangis, berteriak ikut hanyut oleh cerita yang dibawakan di panggung. Belum lagi warung kopi dan tempat-tempat tongkrongan yang begitu banyak dan beragam di seluruh penjuru pelosok negeri ini. Tempat-tempat itu selalu dipenuhi pengunjung, tidak peduli jam berapapun selama itu tempat buka 24 jam, pasti ada orang yang datang dan meramaikannya. Dan di setiap tongkrongan itu selalu ada tokoh kunci yang cerita dan setiap perkataannya didengarkan. Apapun yang keluar dari mulut orang itu, selalu menjadi perhatian. Entah itu dalam bentuk gurauan, ceramah atau bentuk lainnya. Belum lagi kalau kita melihat jenis pertunjukan yang lain. Pengajian. Saya sendiri, beberapa kali mengikuti acara kajian yang di isi oleh ustadz ternama. Ribuan orang mendengarkan dan menyimak seluruh perkataan ustadz itu. Dan itu bisa berlangsung berjam-jam. Semua peserta yang hadir menyimak dengan khidmat dan manggut-manggut. Dari beberapa kejadian dan keadaan yang saya gambarkan di atas, terlihat budaya tutur kita yang begitu melekat. Belum lagi jika kita mau duduk di sembarang warung kopi dan mendengarkan secara acak obrolan yang ada disitu. Kita bisa terkagum dan bengong mendengarnya. Karena spektrum bacaan yang begitu luas. Mulai dari peristiwa lokal hingga internasional, mulai disiplin ilmu psikologi, sosiologi, politik bahkan filsafat pun biasa terdengar di obrolan-obrolan ini. Obrolan tentang pembangunan infrastruktur di belahan dunia sana hingga transfer pemain bola di belahan dunia lain. Dari gosip artis A sedang mengalami perceraian hingga artis drakor korea yang sedang selingkuh. Semua itu bisa kita dengarkan di warung kopi di lingkaran kelompok yang sama dengan ditemani secangkir kopi. Begitu cair, liar dan tak bertepi. Budaya tutur memang nyata dan masih terkonfirmasi hingga hari ini di masyarakat kita.

Tidak pernah atau jarang sekali saya melihat di tempat-tempat umum orang membaca. Baik itu di taman, di kendaraan umum, terminal, stasiun dan tempat umum lainnya. Dulu, ketika masih ada koran harian dan majalah masih saya lihat beberapa orang membaca di warung-warung kopi. Itupun sebagai kegiatan menunggu teman ngopi. Setelah teman datang, maka bacaan akan ditaruh. Perpustaan sering kali terlihat kosong dengan tumpukan buku ala kadarnya dan ruang baca yang memang didesain kurang nyaman. Dengan kursi tegak dan bantalan yang keras. Kadang ditambah dengan ruangan yang panas dengan aroma debu dan pengab. Begitu juga dengan kondisi taman-taman di sekitar kita. Tempat duduk yang cenderung tidak nyaman dan membuat orang tidak mau berlama-lama untuk duduk di taman itu. Jadi, kesimpulan saya, memang budaya baca tidak ada dan tidak nampak di masyarakat kita.

Nah, dengan dua fenomena yang terlihat bertolak belakang ini maka saya berasumsi setidaknya sudah mulai ada perubahan kultur atau budaya dalam masyarakat kita. Kita tidak mempunyai budaya baca dan pameran buku dan juga bursa buku bekas yang banyak menarik pengunjung. Terlihat sudah mulai ada perubahan budaya. Dan itu bagus. Artinya, tidak menghilangkan budaya tutur yang sudah kita miliki, namun justru memperkaya budaya tutur dengan berkembangnya budaya baca. Obrolan warung kopi akan semakin berbobot, pertunjukan kesenian akan semakin menambah manfaat karena sang penyaji yang lebih literated. Dan tentu saja pengajian yang semakin bagus karan para guru, ustadz dan pemuka agama mempunyai wawasan yang luas.

 

Begitulah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *