UnHumanity – Catatan Kecil Pekerja Sosial

UnHumanity – Catatan Kecil Pekerja Sosial

Andik Hariawan

 

 

 

Kemanusiaan saya benar-benar terusik akhir-akhir ini. Ketika saya melakukan pemetaan anak-anak jalanan di wilayah Bekasi. Saya menemui hal-hal yang mengganggu rasa kemanusiaan saya. Ketika saya melihat seorang ibu dan laki-laki separuh baya dengan 2 anaknya yang masih balita menggelesot di samping gerobaknya di sebelah indomaret. Selepas adzan magrib. Di sebuah jalanan yang ramai dan rawan macet. Hampir tidak ada jarak antara keluarga itu dengan kendaraan yang bersliweran. Mungkin hanya belasan sentimeter jarak nya dengan truk sampah yang melintas, atau sepeda motor para karyawan yang baru pulang. Keluarga ini, dengan gerobaknya yang hampir tidak ada isinya, hanya duduk dan berbaringan di situ. Beberapa pengendara terlihat berenti dan memberikan entah uang, bungkusan makanan atau yang lain. Semua diterima. Mereka biasa mulai sore hingga malam hari. Setiap hari. Masih saja tidak bisa masuk di akal saya pemandangan seperti itu. Apakah pengemis  (mendapatkan pengasilan dengan meminta-minta dan mengharapkan belas kasihan orang lain di depan umum) sudah menjadi sebuah profesi yang jamak. Atau melihat sekelompok anak remaja dari daerah yang jaraknya ratusan kilometer nampak berjualan madu dengan baju khas daerah dan sukunya. Ratusan kilometer harus mereka tempuh untuk mendapatkan uang. Mereka akan berhari-hari jauh dari rumahnya. Ketika kutanya dimana mereka tidur mereka menjawab ya seadanya. Di mana aja. Bisa di terminal atau di tempat lain yang dianggap aman dan nyaman. Atau ketika melihat seorang perempuan tua (60 tahun lebih) menarik gerobak yang di dalamnya menggunung barang-barang hasil mulung dan di sela-sela barang itu nampak kepala anak kecil usia tidak lebih dari 10 tahun. Dari wajah si ibu tua, nampak kelelahan dan goresan kerasnya kehidupan. Terlihat juga oleh saya, seorang anak usia belasan duduk di atas pembatas jalan di tengah-tengah lalulintas dan melumuri seluruh tubuh dan rambutnya dengan cat perak. Mengemis. Pernah juga terlihat oleh saya, seorang laki-laki muda menggendong anak balita (mungkin belum ada 2 tahun usianya) sedang mengamen di perempatan jalan utama di ibukota negara ini. Seorang pemuda yang masih mempunyai tenaga yang besar untuk dijual, namun memilih mengamen. Dan juga melihat dua anak usia puluhan yang terlihat tidak berbaju di tumpukan sampah setinggi 50 meter. Sedang nongkrong di depan gubuk di tumpukan sampah itu.

Dengan premis awal bahwa jalanan bukanlah tempat yang aman bagi anak maka tidak seharusnya, menurut saya, seorang ibu berusia lebih dari 60 tahun masih menyusuri jalan dengan anak kecil untuk mencari penghidupan. Tidak ada alasan yang bisa membenarkan sekelompok remaja harus bepergian jauh dari rumahnya untuk mendapatkan uang ratusan ribu, sementara di sisi kehidupan lain anak seumuran mereka bemain mobile legend atau berpacaran. Apa yang terlintas di otak orang tua yang membiarkan anaknya berlumuran cat perak dan meminta uang dari orang-orang di jalan. Apakah tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan oleh laki-laki muda ini, sehingga dia harus mengamen di tengah riuhnya lalu lintas. Tidak adakah pekerjaan yang bisa dia lakukan tanpa harus merendahkan harga dirinya sebagai laki-laki. Selapis di atas tindak kejahatan.

Melihat semua peristiwa itu di depan mata saya sendiri memunculkan sebuah pertanyaan mendasar tentang kemanusiaan. Bukan pertanyaan tepatnya, tapi sebuah keraguan akan kemanusiaan saya. Saya menganggap bahwa beban dan tanggung jawab manusia sebagai makhluk dengan tingkat kecerdasan, fisik, perasaan, kemampuan tertinggi tentunya juga sangat berat. Sebagai manusia individu, kita dituntut untuk lebih luhur dan bijaksana dibandingkan makhluk lain. Arti luhur dan bijak itu antara lain, bahwa pikiran dan tindakan kita harus menghormati kemanusiaan kita. Tidak boleh kita berfikir dan bertindak yang akan merendahkan dan mencederai status kemanusiaan kita. Predikat sebagai super creatures tentunya harus diimbangi dengan pikiran dan tindakan kita yang juga luhur dan bijak. Tidak boleh kita melakukan tindakan kejam dan keji kepada makhluk lain. Tidak boleh kita memukul hewan, menendang kucing atau bahkan membunuh ular tanpa alasan. Tidak boleh juga kita menebang pohon, mencabut bunga atau membiarkan tanaman di halaman kita tidak terurus. Bahkan tidak boleh kita membuang air sembarangan, atau membuang sampah sembarangan. Padahal air dan sampah adalah benda mati. Apalagi kepada sesama manusia. begitu banyak instrument aturan dan hukum baik yang tertulis ataupun tidak yang mengatur itu. Agar kita tidak menyakiti sesama manusia. Itulah beberapa tindakan yang mewakili kelihuran dan kebijakan kita sebagai manusia. Nah, keraguan saya akan kemanusiaan saya muncul setelah melihat semua itu. Sebenarnya kemanusiaan itu apa tolok ukurnya?.Apakah bisa berubah tolok ukur ini?. Dan kalau memang bisa berubah kondisi apa yang menjadikannya berubah?.

Kemanusiaan adalah serangkaian pikiran, sikap dan tindakan yang mencerminkan atau mewakili manusia sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya. Itu definisi kemanusiaan yang bisa saya rumuskan. Semua ahli (yang kebetulan adalah manusia) sudah sepakat menyatakan bahwa manusia adalah makhluk tertinggi derajatnya. Sehingga semua pikiran, sikap tindakannya haruslah sesuai dengan ketinggian derajatnya. Jika ada manusia yang tindakan manusia yang menyakiti manusia lain, maka pantas dipertanyakan kemanusiannya. Jika ada sikap kita merendahkan manusia lain maka kita patut ragukan kemanusiannnya. Bahkan jika kita berfikir untuk merugikan manusia lain, maka kita bisa pertanyakan kewarasan pikiran kita. Namun ada beberapa kondisi dan keadaan yang membolehkan kita keluar dari kemanusiaan itu. Misal ketika dalam kondisi tidak sadar. Tidak ada yang akan mempertanyaakan kemanusiaan orang gila, kesurupan atau terkena musibah. Orang tidak akan bertanya kenapa kok orang gila itu memukul orang lain. Atau orang akan memaklumi ketika orang yang sedang kesurupan tiba-tiba makan beling. Atau orang akan berusaha untuk maklum pada sekumpulan orang mabuk yang teriak-teriak mengganggu orang lain. Karena orang-orang itu dalam kondisi tidak sadar. Mereka kehilangan “kemanusiaan” mereka.

Atau dalam keadaan perang. Orang akan memaklumi ketika seorang manusia membunuh atau menyakiti manusia lain. Itu dibolehkan namun tetap dibatasi dengan konvensi jenewa dan hukum humaniter yang mengatur tindakan kemanusiaan dalam keadaan perang. Bahkan dalam keadaaan bencana alampun manusia masih dituntut mengedepankan kemanusiaannya. Padahal bencana alam adalah sebuah keadaan yang manusia sama sekali tidak punya kemampuan untuk mengontrolnya. Atau keadaan di mana kemanusiaan kita teranam, maka kita “diperbolehkan membela diri. ketika kita di rampok atau nyawa kita terancam maka kita boleh membela diri. Bahkan Banyak tatanan hukum dan peraturan tertulis termasuk yang tak tertulis membela dan menjadikan kemanusiaan dasar pembuatan hukum itu.

 

Nah, balik lagi pada semua peristiwa yang akhirnya saya meragukan kemanusiaan saya. Peristiwa-peristiwa itu terjadi di depan mata saya, dan tidak ada keadaan atau kondisi yang mengharuskan saya mengubah kemanusiaan saya. Seorang anak yang terpaksa ada di jalanan atau di kondisi yang membahayakan hidupnya. Seorang anak yang bermain di tumpukan sampah setinggi 40 M, Anak yang harus melumuri tubuhnya dengan cat perak. Anak yang jualan sebotol madu di jalanan, anak yang harus tertidur di pangkuan ibunya di jalanan. Tidak ada sama sekali alasan dari sisi kemanusiaa yang bisa membenarkan hal itu.  Seorang anak, apapun alasannya tidak boleh ada di keadaaan yang membahayakan hidupnya. Alasan ekonomi (kemiskinan), social (lingkungan), pendidikan (menuntut ilmu/mendidik anak – jadi ingat ungkapan salah satu pejabat yang menyatakan bahwa mengamen di jalanan adalah salah satu cara mendidik tangguhkan anak) bahkan alasan budaya (mengikuti sebuah budaya tertentu) tidak bisa membenarkan anak ada di dalam keadaaan bahaya. Dan jalanan adalah tempat yang berbahaya.  Itu dengan asumsi bahwa kita semua sepakat bahwa jalanan bukanlah tempat yang aman bagi anak-anak. Bahwa jalanan adalah tempat yang berbahaya bagi anak-anak.

 

Mungkin mulai diperlukan bahwa kemajuan peradaban yang begitu pesatnya bisa dianggap sebagai alasan mengubah nilai-nilai kemanusiaan. Yang saya maksudkan adalah, kemajuan peradaban tanpa diimbangi oleh kamajuan pola pikir dan perilaku dari manusia mempunyai potensi mengubah nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga ketika melihat seorang anak mencari duit di jalan, itu adalah hal yang biasa. Tidak perlu di permasalahkan secara kemanusiaan. Toh anak itu mencari duit di jalan tidak dengan cara-cara yang criminal. Atau toh anak ini mencari duit di jalan bersama orang tuanya. Atau anak ini di ajak ke jalan ya karena di rumah gak ada yang jagain. Atau anaknya sendiri yang mau ke jalan untuk bantuin keluarga. Atau mumpung gak sekolah (karena PJJ) makanya ikut turun ke jalan. Nanti kalau sekolahnya udah masuk penuh, gak bakalan boleh lagi turun ke jalan. Itu beberapa alasan dan dalih mengapa anak-anak ini masih kita temui di jalan. Dan semua dalih dan alasan ini tidak bisa dibenarkan secara kemanusiaan. Karena jalanan bukanlah tempat yang aman bagi anak. Mungkin karena saya yang terlalu mendramatisir. Karena anak-anak ini tidak keberatan dan terlihat cukup senang dan bahagia.  Atau bisa saja kita mulai memasukkan jalanan sebagai tempat yang aman bagi anak dan merupakan ajang untuk mendidik tangguhkan anak. Atau kita mulai sepakat untuk mengurangi bahaya yang ada di jalanan sehingga jalanan menjadi tempat yang aman bagi anak-anak. Bisakah kita melakukan itu?. Tidak mungkin kurasa.

Akan tetapi, masyarakat tidak melihat premis ini. Bahwa jalanan adalah tempat yang berbahaya bagi anak. Sehingga masyarakat luas “mendukung” keberadaan anak-anak ini di jalan. Bentuk dukungannya adalah mulai memberikan uang, makanan atau barang-barang yang lain. Ada juga yang mendukung dengan cara membeli barang atau jasa yang ditawarkan oleh anak-anak ini. Atau dukungannya hanya dalam bentuk membiarkan anak-anak ini di jalanan (seperti saya). Bahkan ada yang berfikir untuk membuatkan semacam pelatihan bagi anak-anak ini agar keahliannya dalam mencari uang di jalan semakin meningkat. Misalnya mengajari mereka bermain music, sehingga ketika mereka ngamen di jalan menjadi lebih bagus. Atau memberikan pelatihan ketrampilan membersihkan kaca mobil yang benar untuk mendukung profesi mereka di jalan. Atau memberikan ketrampilan yang lain agar mereka bisa lebih variative dalam mencari uang di jalan. Saya menyebut ini dukungan (meski dalam tanda kutip) karena saya tidak tahu dinamakan apa hal-hal yang dilakukan oleh masyarakat ini pada anak-anak di jalanan. Jika tindakan ini dinamakan membantu, saya rasa kok tidak. Karena semakin banyak kita memberi pada anak-anak jalanan akan semakin menegaskan bahwa kita mendukung mereka di jalan. “Dukungan” ini adalah hal yang salah. sebuah empati yang salah tempat. Untuk berbuat baik itu susah di sini. Secara system tidak mudah untuk berbuat baik di sini dan secara kultur masyarakat lebih senang memberikan bantuan secara langsung ke penerima. Sukur-sukur bisa di poto dan diposting di media social. Sehingga memberikan secara langsung uang atau makanan pada anak-anak di jalanan lebih pas dan cocok untuk dilakukan.

Terus semua uraian saya di atas, apa hubungannya dengan kemanusiaan saya yang terkikis. Karena tidak ada hal masuk akal yang bisa saya lakukan ketika melihat hal itu. Tidak ada sesuatu yang bisa saya lakukan untuk mengubah keadaan anak-anak ini. Dengan semua pengetahuan dan ilmu yang saya miliki, memang tidak ada yang bisa saya lakukan pada saat bertemu mereka. Memberikan uang atau membeli dagangan mereka pun, bertentangan dengan apa yang saya yakini. Bahkan untuk bertanya atau sekedar bercakap-cakap dengan mereka pun saya merasa malu. Karena saya tahu, arah percakapan saya akan berujung pada ketiadaan tindakan untuk mengubah kehidupan mereka. Apapun yang saya lakukan tidak akan mengubah hidup mereka secara langsung. Sehingga saya merasa melakukan pembiaran (dukungan) terhadap keberadaan anak-anak ini di jalan. Yang saya lakukan hanyalah mendokumentasikan dan mengubah kehidupan mereka menjadi sebuah angka statistic. Agar nantinya saya bisa membuat sebuah program untuk membantu mereka, tentunya dengan pendanaan dari Lembaga donor. Dan memang itulah pekerjaan saya. Mendokumentasikan kesengsaraan dan penderitaan kaum terpinggirkan ini, dan membuatnya menjadi angka-angka statistic sehingga bisa saya buatkan program dan saya jual ke Lembaga donor. Itulah sisi gelap yang bisa di tangkap dari pekerjaan saya.

Saya berfikir dengan semua keilmuan dan pengetahuan yang saya miliki, kira-kira apa yang bisa dilakukan untuk mengubah kehidupan mereka. Agar mereka tidak lagi menggantungkan kehidupan di jalanan. Yang harus di pahami dulu adalah premis bahwa jalanan bukanlah tempat buat anak-anak. Harus disepakati itu dulu. Ada dua tindakan yang bisa dilakukan secara bersamaan. Pertama, tentu saja melakukan pendataan siapa saja mereka yang menggantungkan hidupnya di jalan. Data mereka se jelas-jelasnya. Karena saya yakin mereka adalah orang yang itu-itu saja. Tentunya dengan tambahan orang-orang baru. Setelah itu, ini proses yang paling susah, selesaikan masalah mereka secara personal. Satu persatu. Dengan pendampingan yang ketat sampai mereka bisa benar-bear terlepas dari lingkaran jalanan. Masalah mereka tidak bisa diselesaikan secara gelondongan. Tidak ada solusi tunggal buat masalah mereka. Setiap masalah membutuhkan solusi tersendiri. Karena masalah mereka berbeda-beda sesuai dengan latar belakang mereka. Itu tindakan pertama yang kelihatan dan termudah. Tindakan kedua adalah yang tersulit dan membutuhkan waktu panjang. Mengubah pola pikir. Banyak dari mereka yang tinggal di jalan mempunyai pola pikir yang salah. Pola pikir instan salah satunya. Bahwa untuk mendapatkan uang tidak harus bekerja seperti orang lain. Cukup mereka turun ke jalan dan melakukan apapun yang membuat orang-orang iba. Pola pikir instan ini sangat merusak karena akhirnya mereka tidak mau melakukan proses dengan benar. Kalau bisa gratis mengapa bayar. Atau kalau bisa bayar mengapa harus ribet. Ngapain sekolah yang menghabiskan banyak uang dan waktu. Ngapain kerja capek-capek jadi tukang ojek atau jualan di rumah, atau bertani. Ngapain ngontrak kalo bisa tinggal gratis.  Pola pikir melanggar peraturan. Peraturan membuat hidup lebih ribet, makanya mereka melanggarnya. Pola pikir tidak mau belajar. Belajar itu capek dan tidak penting. Sehingga mereka tidak mau lagi belajar untuk mengubah hidupnya. Dan beberapa pola pikir lain yang dimiliki oleh orang-orang ini.

Selain pola pikir mereka, maka kita juga harus mengubah pola pikir masyarakat. Bahwa untuk membantu orang lain, kita harus sedikit bersusah payah. Bahwa untuk menyalurkan empati kita, perlu tindakan lebih selain memberikan langsung pada mereka yang hidup di jalanan. Dan memang dan memang kenyataan kalau di negara kita lebih sulit untuk berbuat baik. Bahwa sebenarnya tindakan memberikan langsung pada mereka yang tinggal di jalan bukan membantu, tapi justru membuat mereka semakin betah di jalan. Dan tindakan itu juga melanggar peraturan. Beberapa daerah di Indonesia mempunyai peraturan daerah yang melarang memberikan uang kepada pengemis atau anak jalanan. Ada tindakan untuk membantu tanpa harus membuat mereka betah di jalan. Salurkan empati anda pada Lembaga-lembaga yang bisa dipercaya. Sekarang banyak sekali Lembaga-lembaga yang bisa dipercaya untuk menyalurkan sumbangan kita pada yang kita inginkan.

Begitulah, sehingga kemanusiaan saya terusik. Begitu banyak ketidakbenaran yang menjadi benar karena situasi dan keadaan. Dan menerima pembenaran itu adalah proses yang menyakitkan buat saya.

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *