” Raga, Suara, Kata”. Kolaborasi Indonesia dan Jepang, mimpi besar dengan segala keterbatasan.

 

 

Sesi penutup dari rangkaian program A little Japan in Kediri, sebuah program yang di gagas oleh Komunitas TBM Gelaran Jambu Kediri, menghadirkan sebuah pertunjukan Kolaborasi antar seniman Jepang Taka Takashi dan seniman Indonesia, Eko Prasetyo, Andre Nugraha, Rinayu Lidya, Nazisa Revi, dan Naura S Amrina, yang berlangsung di Excowork Coworking Space Pare Kabupaten Kediri, 12 Desember 2024.

Pertunjukan dimulai dengan tiga penari wanita berkostum putih dengan intensitas dan gerak sederhana, berjalan di panggung sederhana dan diterangi lampu natural, berusaha membawakan ekspresi dari narasi yang di bacakan narator. Adegan ini masih belum bisa dicerna dengan baik oleh sebagian penonton, karena belum bersatunya unsur tempo, irama, makna gerak, musik yang mengiringi dan kata-kata yang dituturkan narator.

Adegan selanjutnya, mulai muncul nada-nada Jawa yang menjadi benang merah dan dibawakan pengrawit. Alunan nada bernuansa kontemporer Jawa mulai jelas tersaji di telinga penonton ditingkahi dengan narasi yang juga bernuansa Jawa. Para penari berusaha mengimbangi alunan nada dan narasi jawa ini dengan adegan gerak solo secara bergantian. Gerak bebas dengan nuansa tari tradisi ini terlihat kesulitan untuk menerjemahkan makna kata dan music yang mengalun.

Pertunjukan dengan tajuk Flesh Voice – Flesh Writing ini mulai hidup ketika sosok Taka Takashi muncul dengan kostum seragam SMA ala remaja Indonesia. Taka Tahashi merespon kata-kata narator dengan bermain multi media dua dimensi (OHP – Overhead Projector). Gambar-gambar natural yang dihasilkan alat ini menjadi permainan siluet yang nyata dan ekspresif dalam menerjemahkan kata-kata sang narator.  Salah satu ciri penari Jepang aliran butoh dan trance body movement adalah karya ekspresi nuansa gelap dengan set artitik panggung dan kostum nuansa putih. Kontras dalam gerak dan setting artistik ini menjadi salah satu ciri performance penari aliran Butoh. Make up wajah putih juga memperkuat bahwa Taka Tahashi adalah penari Butoh. Mengingatkan pada Hijikata atau Yukio Waguri. Tokoh aliran Butoh yang sempat menularkan ilmunya di Indonesia di era tahun 90 an.  Pesan yang ingin disampaikan dalam pertunjukan ini adalah bagaimana memahami hubungan kemanusiaan antar manusia sebagai mana hubungan antara bapak dan anak menjadi lebih jelas dan utuh dengan metode aliran Butoh. Pesan ini disampaikan dengan alunan music piano dan narasi yang dibacakan narrator di akhir adegan. Pesan inilah yang bisa dibawa oleh audience. Bahwa hubungan antar manusia seharusnya bisa lebih humanis/manusiawi jika kita memahami hubungan antara ayah dan anak.

Terlepas dari kekurangan tata artistic dan tata rupa pentas yang seharusnya bisa diatur lebih baik, pertunjukan-pertunjukan kreatif seperti ini harus lebih diperbanyak. Menurut penulis, ruang kelas/rapat seharusnya bisa diubah menjadi ruang pertunjukan yang lebih artistic. Penulis percaya, dengan penataan artistic dan manajemen yang lebih rapi, pertujukan kolaborasi semacam ini bisa menjadi inspirasi yang bisa membuka ruang-ruang kreatif di ranah seni pertunjukan Kediri.

Bagaimanapun juga acara seperti ini harus sering dilakukan di Kediri seiring perkembangan dunia seni yang semakin global dan lintas batas. Dengan kolaborasi lintas batas wilayah, bahkan lintas negara akan mampu membuka jejaring pelaku seni local. Dan dengan jejaring yang lebih luas, diharapkan pelaku seni lebih merdeka dalam berkarya dan menjaga otentisitas nya. Sebisa mungkin tidak melibatkan pemerintah dan dewan kesenian dengan segala kepentingannya adalah salah satu cara untuk tetap merdeka.

Salam trisik…..

 

Kritik seni ini,di tulis oleh Bagus B Indarto,( Yayasan Makna Trisik Indonesia), setelah menyaksikan pementasan Flesh Voice – Flesh Writing, kamis 12 Desember 2024

Leave a Reply