Illegal People

je pensedonc je suis – cogito ergo sum (saya berfikir maka saya ada), “

Descartes

Dalam pekerjaan saya, sering kali saya menemukan berbagai jenis manusia. Salah satu tanggung jawab dalam pekerjaan saya adalah melakukan interaksi secara langsung dengan manusia. Bukan tipe interaksi yang hanya bertanya nama dan apa keperluannya seperti pekerja front desk. Atau jenis interaksi yang hanya sekali dua kali ketemu. Pekerjaan saya memerlukan tipe interakasi yang mendalam. Bertemu beberapa kali dan menggali informasi yang personal terkait kehidupannya. Dan selalu dalam pertemuan-pertemuan dengan orang-orang ini, tidak berhentinya mereka membuat saya takjub. Takjub akan bagaimana mereka bisa bertahan dalam kehidupan yang mereka jalani setiap hari, takjub akan semua solusi yang mereka temukan untuk masalah-masalah keseharian mereka, takjub dengan bagaimana mereka seolah mempunyai energy yang tidak ada habisnya untuk melewati hari-hari yang saya rasa sangat berat. Mereka ini adalah orang-orang marjinal. Definisi marjinal menurut KBBI adalah, berhubungan dengan batas/tepi; tidak terlalu menguntungkan atau berada di pinggir. Orang-orang yang saya temui ini adalah orang-orang yang terpinggirkan. Orang-orang pinggiran, yang tersingkirkan. Orang-orang miskin. Dimana kemiskinan mereka tidak hanya dalam artian kepemilikan, namun juga kemiskinan dalam keseharian dan kemiskinan dalam fikiran.

Salah satu hal yang mereka tidak punyai adalah identitas. Identitas disini dalam artian tercatat secara resmi dan formal dalam kehidupan bernegara. Mereka adalah orang-orang yang tidak tercatat. Un-registered. Dalam undang-undang kita (UU no 23 tahun 2006), dikatakan bahwa yang dimaksud dengan warga Negara Indonesia, adalah mereka yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga Negara Indonesia. Yang artinya, tidak peduli bahwa anda lahir di sebuah desa kecil tanpa listrik di pulau terpencil Indonesia, atau anda lahir di ibukota Negara, tetap saja anda bukan warga Negara Indonesia selama undang-undang tidak mengesahkan keberadaan anda. Biarpun nama anda somad, agus, budi (yang semuanya adalah nama Indonesia) yang lahir dari orang tua bernama ipah dan jiun, yang secara turun temurun udah tinggal di kampung yang bernama jatimakmur, tetap saja anda bukan warga Negara Indonesia selama undang-undang belum mengesahkannya. Biarpun kulit anda sawo matang, dengan rambut ikal, dengan badan yang tidak lebih 165 cm tetap saja anda bukan warga Negara Indonesia selama undang-undang belum mengesahkannya. Biarpun anda bisa berbicara batak, jawa, aceh secara lancar dan fasih karena itu adalah bahasa keseharian anda, tetap saja itu tidak bisa menjamin bahwa anda warga Negara Indonesia. Negara harus mengesahkan identitas bahwa anda adalah warga Negara Indonesia. Dan proses pengesahan itu untuk orang-orang marjinal ini adalah proses yang sulit. Mulai mereka harus datang ke kantor dukcapil setempat untuk mengisi formulir dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit, mempersiapkan dokumen-dokumen pendukung (sebagian besar dari mereka tidak punya karena berbagai alasan), meminta dokumen-dokumen pendukung dari pihak lain (yang ini membuka peluang ekonomi bagi orang-orang tersebut), kembali ke kantor dukcapil hanya untuk mengembalikan formulir yang sudah terisi dan kemungkinan besar formulir ini akan dikembalikan karena salah ataupun kurang lengkap, terus pulang untuk menunggu dokumen yang mereka minta, dan sekian hari kemudian mereka datang ke kantor itu untuk mengambilnya. Setiap kedatangan ke kantor itu, mereka harus mengambil antrian, menyiapkan argument-argumen untuk pertanyaan-pertanyaan bersifat interogatif dan intimidatif. Seperti itu lah proses yang harus dilewati oleh kaum marjinal ini, yang kemungkinannya juga mereka buta huruf, tidak lancar baca tulisnya,mempunyai penyakit-penyakit seperti darah tinggi, jantung, diabetes, dsb. Atau mereka mempunyai kondisi-kondisi dimana mereka kehilangan dokumen-dokumennya karena kebakaran, kebanjiran (mereka tidak mau mengurus lagi pasca kehilangan karena itu artinya harus keluar uang) atau di buang/di gunting/disobek pasangan lama karena cemburu buta atau ketika pasangannya mabuk dan marah-marah.

Salah satu perilaku yang mereka miliki adalah mereka paling gak mau berurusan dengan pemerintahan. Termasuk di dalamnya adalah mengurus administrasi kependudukan. Ada beberapa penyebab mengapa mereka malas berurusan dengan pemerintahan. Mereka berfikir bahwa berurusan dengan pemerintahan artinya adalah bayar uang. Itu norma sosial yang sudah mereka alami selama bergenerasi. Selain berbayar, berurusan dengan pemerintahan artinya adalah perlakuan interogatif dan intimidatif. Dan sebagai kaum marjinal, perilaku pemerintah yang seperti ini justru semakin menegaskan betapa marjinalnya mereka. Hal ini seperti men-stempel bahwa mereka benar-benar kaum terpinggirkan. Jadi, ya sekalian aja bersikap sebagai kaum terpinggirkan. Yaitu, tidak peduli dengan pemerintahan. Ada lagi alasan yang lainnya, yaitu tanpa pemerintahan mereka juga masih bisa hidup. Menjalani kehidupan semaksimal yang mereka mampu. Ini salah satu yang membuat saya takjub. Kalau tidak punya KTP/akte berarti mereka tidak bisa berobat ke puskesmas ya mereka akan berobat ke dokter umum, kalau punya uang. Kalau tidak punya uang ya gak usah berobat. Lha kalau ntar gak berobat terus mati gimana?. Ya kalo mati udah takdirnya, dikubur. Terus kalo tidak punya akte anaknya gak bisa sekolah?. Ya sekolah informal kan banyak, yang di dirikan oleh orang-orang baik tanpa memungut biaya. Gak punya ijasah dong, ntar gak bisa nglamar kerjaan kantor. Ya gak papa gak punya ijasah, kan masih ada kerjaan yang lain. Jadi, mereka melihat, bahwa tanpa identitas pun mereka masih bisa hidup. Meskipun dengan hidup yang sangat terbatas.  Dan saat ini, ruang hidup mereka semakin sempit karena hampir semua program pemerintah hanya bisa di akses oleh orang-orang yang mempunyai identitas. Inilah yang membuat mereka menjadi semakin tertinggal dan terpinggirkan. Orang-orang ini akan selalu dan pasti tertinggal.

Tentu saja mereka juga menginginkan agar anak-anaknya tidak menjalani hidup seperti mereka, sehingga orang-orang ini juga berusaha untuk mendapatkan identitasnya. Namun seperti yang sudah saya sebutkan, bahwa proses mendapatkan identitas ini tidaklah mudah bagi mereka. Banyak factor yang menghambatnya, selain orang-orang yang memanfaatkan mereka untuk kepentingan pribadi nya, pemerintah (dalam hal ini adalah oknum-oknum di dalamnya) masih mempunyai watak priyayi. Yang tentu saja, dengan watak priyayi sangat mustahil meminta mereka “menurunkan” derajatnya agar sejajar dengan rakyat jelata. Padahal kaum marjinal ini adalah rakyat jelata yang paling jelata. Dimana pendekatan dengan mengedepankan relasi kuasa tidak akan berhasil untuk mereka. Pemerintah harus menurunkan derajatnya agar bisa memahami apa yang menjadi kesulitan mereka. Dengan harapan setelah memahami kesulitan mereka kita bisa menemukan solusi yang sesuai buat mereka.

Akan selalu ada alasan pembenar dengan dalih memberikan edukasi pada kelompok marjinal ini agar mau peduli dengan urusan adminsitrasi kependudukannya. Misalkan pernyataan, jangan “manjakan” mereka dengan melayani terus mereka. Atau mereka harus datang dan aktif mengurus sendiri karena itu buat kepentingan mereka sendiri. Atau berbagai argument lain yang intinya adalah tidak memberikan “kemudahan” pada mereka. Menjawab argument itu, kaum marjinal ini juga mempunyai perilaku “ya sudahlah”. Itu sebutan saya buat perilaku ini. Jadi, ya sudahlah. Kalaupun akhirnya saya tidak mempunyai identitas, yang artinya saya tidak di akui sebagai WNI, yang artinya saya tidak mendapatkan hak-hak saya sebagai WNI ya sudahlah. Balik ke logika berfikir seperti paragraph di atas (Kalau tidak punya KTP/akte berarti mereka tidak bisa berobat ke puskesmas ya mereka akan berobat ke dokter umum, kalau punya uang. Kalau tidak punya uang ya gak usah berobat. Lha kalau ntar gak berobat terus mati gimana?. Ya kalo mati udah takdirnya, dikubur. Terus kalo tidak punya akte anaknya gak bisa sekolah?. Ya sekolah informal kan banyak, yang di dirikan oleh orang-orang baik tanpa memungut biaya. Gak punya ijasah dong, ntar gak bisa nglamar kerjaan kantor. Ya gak papa gak punya ijasah, kan masih ada kerjaan yang lain)

 

Dan juga prosedur yang ada dalam system pencatatan kependudukan tidak mengakomodir kelompok ini sebagai satu bagian yang utuh dari masyarakat.  Maksud saya begini, ketika membuat prosedur, seharusnya prosedur itu memasukkan golongan terlemah sebagai dasar penyusunan prosedur itu. Golongan terlemah dari masyarakat adalah golongan marjinal. Termasuk di sini tentu saja kelompok difabel dan anak-anak. Jadi filosofisnya apabila kelompok terlemah/marjinal ini bisa mengakses prosedur itu, tentu saja semua kelompok lain akan bisa mengaksesnya. Selama ini yang terjadi, pembuatan prosedur selalu mengacu pada kelompok mayoritas. Jadi prosedur dibuat untuk mengakomodir kelompok mayoritas sementara kelompok minoritas/marjinal akan menjadi pengecualian prosedur. Jadi kelompok ini akan dibuatkan prosedur tersendiri. Dengan paradigma seperti ini, saya berfikir bahwa kelompok marjinal ini akan tetap ada dan terpinggirkan. Ini yang saya lihat yang terjadi akhir-akhir ini, sebagai contoh,bongkar pasang trotoar untuk mengakomodir kaum difabel. Sejak awal sarana umum ini memang tidak didesain untuk kelompok marjinal, jadi ketika ada desakan untuk mengadakan fasilitas untuk kelompok disabel, maka terjadilan proyek bongkar pasang. Demikian juga dengan adanya SPTJM (surat pertanggungjawaban Mutlak) sebagai prosedur untuk mempermudah kelompok marjinal/rentan dalam hal mendapatkan hak kependudukannya. SPTJM awalnya tidak ada, jadi kelompok rentan/marjinal tetap harus mengikuti prosedur seperti orang lain. Dan ketika kelompok ini tidak terpenuhi hak identitasnya karena prosedur yang kurang “ramah” buat mereka, maka munculah SPTJM. Hal ini membuktikan bahwa sejak awal perencanaan kebijakan yang di susun tidak mengikutsertakan kelompok marjinal/minoritas sebagai dasar pembuatan kebijakan.

 

Apakah orang-orang seperti ini banyak?. Mungkin tidak. Namun orang-orang ini ada. Mereka mungkin tidak berinteraksi dengan kita setiap hari. Dimana keberadaan mereka tidak diakui oleh Negara. Dan mereka tetap akan hidup, beranak pinak dan ada dalam keseharian kita sebagai orang-orang illegal. Tak terdaftar. Terpinggirkan. Kaum marjinal. Kelompok pengecualian. Mereka tinggal di celah-celah pembangunan. Saya beberapa kali mengunjungi tempat tinggal mereka. Di bawah kolong-kolong tol. Dengan lingkungan becek, bau menyengat sampah bercampur dengan bau lembab dan jamur. Dengan kabel listrik berseliweran berkelindan ruwet dan ribet. Atap tempat tinggal mereka sangatlah mahal. Yaitu jalan tol. Atap yang dibangun oleh pemerintah. Atap yang seringkali bergoyang seperti gempa ketika kendaraan besar lewat di “atap”.  Sesekali, cobalah main ke tempat mereka. Rasakan lembab dan gelap dan suramnya lingkungan mereka. Setelah itu baru lontarkan dalih-dalih alasan pembenar mengapa mereka tidak mempunyai dokumen kependudukan. Saya yakin, alasan-alasan dan dalih-dalih itu akan menguap seperti asap. Memang kelompok ini membutuhkan bantuan kita sepenuhnya. Memang kemudahan-kemudahan harus diberikan ke kelompok ini, sehingga mereka setidaknya mempunyai kesempatan untuk keluar dari lingkaran kehidupan yang buruk.

Saya pernah bertemu dengan orang-orang yang merumuskan undang-undang kependudukan ini. mereka adalah orang-orang yang sangat terpandang dan mempunyain gelar berderet di depan ataupun namanya. Karya dan jasa mereka kepada Negara kita sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Mereka menjelaskan mengapa pengakuan sebagai warga Negara Indonesia harus lah di berikan oleh Negara. Orang-orang ini menjelaskan latar belakang mengapa sampai ada kesepakatan seperti itu. Salah satu latar belakang yang mendasari keputusan itu adalah adana anak-anak yang dilahirkan di luar negeri oleh ibu Indonesia yang langsung mendapatkan kewarganegaraan sesuai tempat kelahiran. Dengan undang-undang ini, anak-anak yang dilahirkan diluar Indonesia mempunyai kesempatan untuk memilih menjadi WNI. Mereka juga menjelaskan bahwa kewarganegaraan Indonesia adalah sebuah hak, privilege. Jadi harus diatur bagaimana mendapatkannya. Dengan sifat seperti itu, maka sangat tepat apabila status warga Negara Indonesia di atur oleh undang-undang. Alasan yang tepat, tentu saja, apalagi yang datang dari orang-orang yang sangat terpandang dan berpendidikan. Namun, kaum marjinal ini ada. Kaum tak terdaftar. Illegal people. Dan mereka ada salah satu nya karena undang-undang ini.

 

Leave a Reply